Sabtu, 15 Maret 2008

Bebaskan Pers Indonesia

Bebaskan Pers Indonesia dari Ancaman Kekerasan dan Pemidanaan!
28 Dec 2007
Nomor : 025/AJI-Adv/Pers/XII/2007
Perihal : Siaran Pers

Pernyataan Akhir Tahun 2007 Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
Bebaskan Pers Indonesia dari Ancaman Kekerasan dan Pemidanaan!

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menutup tahun 2007 dengan keprihatinan
mendalam terhadap situasi kebebasan pers di tanah air. Ini disebabkan oleh
meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai wilayah,
bersamaan dengan kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap jurnalis oleh aparat
pemerintah maupun warga masyarakat.

Pada satu sisi, AJI bersyukur karena publik semakin menyadari hak-hak
informasinya. Kritik terhadap kesalahan pemberitaan pers berjalan seiring dengan
tuntutan publik akan pers yang profesional dan mengedepankan etika jurnalistik.
Masyarakat sudah mampu membedakan mana pers yang profesional-beretika dengan
pers yang ngawur dan mengabaikan etika. Pada bagian ini, sudah sepatutnya
komunitas pers, termasuk organisasi media dan organisasi jurnalis di manapun,
berbenah diri dengan meningkatkan standar kompetensi jurnalistiknya, termasuk
dengan memenuhi kesejahteraan para pekerjanya secara memadai.

Pada sisi lain, sikap kritis publik dan pemerintah terhadap pers yang berlebihan
berpotensi mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kebebasan pers dan
hak publik atas informasi, seperti dijamin Konstitusi. Ancaman terhadap pers
bukan lagi berbentuk bredel atau sensor seperti pada zaman Soeharto, melainkan
ancaman pemidanaan dan pemenjaraan terhadap pekerja media. Jika dibiarkan,
ancaman kriminalisasi pers ini akan menjadi momok baru yang membuat para
jurnalis tidak bisa lagi menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai
amanat Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

AJI juga mencatat adanya upaya pembelokan isu sistematis yang menyerang
integritas wartawan Majalah Tempo Metta Dharmasaputra karena yang bersangkutan
berhasil membongkar manipulasi pajak PT Asian Agri lewat liputan investigasinya.
Penyebarluasan print-out pesan pendek (sms) yang seharusnya berklasifikasi
rahasia, merupakan sebentuk ancaman atas pekerjaan profesional seorang jurnalis
sekaligus merupakan pelanggaran langsung atas Undang-Undang
Telekomunikasi.Sayangnya, kepolisian yang merupakan pihak pertama pemohon
salinan sms kepada PT Telkom sama sekali tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran
undang-undang tersebut.

Peta Kekerasan Pers 2007

Sepanjang Januari - Desember 2007, AJI mencatat 75 kasus kekerasan terhadap pers
di seluruh Indonesia. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya (2006), yakni
53 kasus. AJI juga mencatat propinsi/kota yang paling berbahaya bagi jurnalis
(2007) adalah Jakarta (17 kasus), Jawa Timur (14 kasus), Jawa Barat (10 kasus),
disusul Propinsi Aceh (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) 8 kasus kekerasan. Pada
2006, di Jakarta tercatat
ada 16 kasus kekerasan, Jawa Timur 7 kasus, dan Jawa Barat 6 kasus.

Khusus masalah kriminalisasi terhadap pers, AJI mengecam sikap sejumlah aparat
penegak hukum, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, yang melakukan
penyidikan kasus pers tanpa melibatkan Dewan Pers (DP) sebagai pengadilan etik
jurnalistik tertinggi dalam komunitas pers.

AJI juga menyesalkan sikap aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) yang
menerapkan "pasal-pasal karet delik pers" dari Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP)
maupun KUH Perdata dalam menangani sengketa pemberitaan pers. Padahal, sesuai
amanat Undang Undang Pers, setiap keberatan terhadap pemberitaan pers tersedia
mekanisme hak jawab, hak koreksi, mediasi oleh Dewan Pers, pengadilan etik oleh
organisasi jurnalis, sebelum akhirnya sampai ke wilayah hukum.

Pada 2007, AJI mencatat ada sejumlah kasus kriminalisasi pers yang menarik
perhatian publik serta dunia internasional. Antara lain; pengadilan atas
kolumnis Koran Tempo, Bersihar Lubis, yang kini diadili di Pengadilan Negeri
Depok, Jawa Barat; pengadilan Pemimpin Tabloid Investigasi Eddy Sumarsono di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan; pemenjaraan mantan Pemimpin Umum Radar Jogja
Risang Bima Wijaya, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Oposisi, Medan, Dahri Uhum
Nasution. Para jurnalis itu umumnya dihadapkan pada pasal "pencemaran nama baik"
dan "kejahatan menyerang kehormatan",
yang secara zaman sudah tidak layak digunakan karena merupakan aturan hukum
peninggalan kolonial Belanda. Korban perdata akibat penggunaan pasal ”pencemaran
nama baik” ini adalah majalah Time yang digugat bekas Presiden Soeharto. Majelis
kasasi Mahkamah Agung memutus Time harus membayar denda Rp 1 triliun rupiah.
Sungguh jumlah yang tak main-main karena kalau diberlakukan terhadap pers
nasional, sudah pasti akan gulung tikar. Denda yang tak masuk akal ini sama
artinya dengan pembunuhan terhadap pers.

Secara internasional, sebenarnya Indonesia sudah masuk ke dalam negara
"demokrasi penuh" dengan keberhasilan menyelenggarakan Pemilihan Umum secara
langsung, aman dan transparan. Tapi situasi ini tidak didukung dengan iklim
kebebasan pers yang masih menempatkan Indonesia sebagai negara "separuh
demokratis" dengan indeks kebebasan



pers yang masih buruk karena banyaknya kasus kekerasan serta pemidanaan
terhadap pers (Sumber: Freedom House 2007 dan Reporters Sans Frontieres 2007).
Sebagai anggota Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) yang bermarkas di Brussel,
Belgia, dan pendiri Aliansi Pers Asia Tenggara (SEAPA) yang berbasis di Bangkok,
AJI akan terus menjaga iklim kebebasan pers yang lebih baik dan berusaha
menjamin adanya hak publik atas informasi tetap dipenuhi sesuai amanat reformasi
dan Konstitusi.

Dengan ini AJI menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Mengecam kekerasan terhadap pers dan menolak setiap upaya kriminalisasi
terhadap kebebasan menjalankan profesi jurnalistik, kebebasan mengeluarkan
pendapat secara tulisan dan lisan, serta meminta segenap aparat pemerintah dan
masyarakat agar lebih memahami tugas dan profesi jurnalistik yang sudah dijamin
Undang Undang.

2. Menuntut pemerintah Indonesia, c.q Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri), Kepala Kejaksaan Agung (Kejakgung), serta Ketua Mahkamah Agung (MA),
agar menggunakan kewenangannya mengusut berbagai tindakan kekerasan terhadap
pekerja pers, menghentikan upaya pemidanaan terhadap jurnalis dan pers sebagai
langkah konkret dalam menjaga demokrasi dan menjalankan amanat Konstitusi
tentang hak informasi publik.

3. Mengajak segenap komunitas pers, termasuk perusahaan pers, organisasi pers
dan jurnalis agar secara sungguh-sungguh meningkatkan standar profesi dan etika
jurnalistik, serta memperhatikan standar kesejahteraan pekerja pers. AJI
mengingatkan, pers yang profesional dan taat kode etik jurnalistik (KEJ 2006)
akan mendapat dukungan publik, sehingga pers bisa menjalankan tugas dan
profesinya lebih bebas. AJI juga mengajak segenap kalangan pers untuk melawan
segala bentuk teror dan ancaman yang dapat
mencederai kebebasan pers dan profesi jurnalistik.

Jakarta, 28 Desember 2007

Heru Hendratmoko Eko Maryadi
Ketua Umum Koordinator Divisi
Advokasi (www.ajiindonesia.org)

Tidak ada komentar: