Minggu, 20 April 2008

kebebasan pers

Kebebasan Pers = Kebablasan Pers?

Oleh Heru Sutadi

Di penghujung tahun 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluhkan kondisi pers di Indonesia. Dalam penilaiannya, pers kini diibaratkan kendaraan yang remnya sudah blong. Meski kerisauan Megawati tidak ditujukan ke semua pers dan menyatakan tidak akan menuntut pers yang dinilai kebablasan, pernyataan tersebut perlu dikritisi dan menjadi bahan renungan dalam (9 Februari) tahun ini. Benarkah pers kita sudah kebablasan?

Persoalan pers kebablasan akan terkait dengan kebebasan pers. Inilah yang pernah dikhawatirkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, dalam suatu wawancara—setelah ia tidak lagi menjabat presiden—dengan AP Television News. Seperti dikutip Straits Times (25/7/2001), Gus Dur mengkhawatirkan, Mega akan berkuasa dengan gaya kepemimpinan ala Soeharto. Salah satunya adalah menghidupkan kembali kebiasaan melakukan sensor.

Munculnya sensor dan pembelengguan kebebasan pers makin ditakutkan dengan adanya rencana menghidupkan kembali Departemen Penerangan, pada saat-saat awal penggodokan pembentukan Kabinet Gotong Royong. Di masa lalu, fungsi menonjol dari Deppen adalah sebagai pengendali kebebasan pers. Karena itu pula, hadirnya Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi sempat dicurigai sebagai Deppen dengan baju baru.

Hanya saja, di sisi lain, di zaman ketika batas-batas negara kian kabur dengan teknologi internet yang menggurita, masih perlukah adanya ketakutan akan pembelengguan pers? Dalam dunia internet sendiri, pembungkaman kebebasan berbicara merupakan pelanggaran terhadap konstitusi demokrasi dan hukum internasional.

Perjalanan Pers

Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Meski kalangan pers di berbagai negara diberi kebebasan dan telah menjadi lebih profesional, di berbagai belahan dunia saat ini para wartawan tetap menghadapi intimidasi, kekerasan, pengasingan, penjara, bahkan hukuman mati atau pembunuhan.

Bagi Indonesia sendiri, pengekangan pemerintah terhadap pers di mulai tahun 1846, yaitu ketika pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat izin terbit, sensor, dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.

Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.

Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. ”Saya tidak menginginkan siaran berita yang objektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.

Seperti pada tahun 1952, dua surat kabar dibredel, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi delapan tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.

Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 surat kabar dan penahanan tujuh wartawan.

Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor, dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (Pasal 4 dan 8, Ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 Pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Dengan definisi ”pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.

Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas, dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.

Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti, kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.

Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai berisiko.

Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ”mati”, kini pun hidup kembali, seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan Harian Umum Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ”mati”, dengan segala kemudahannya, kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio, dan televisi maupun situs berita online baru.

Pada perkembangan kemudian pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apa pun.

Pers Kebablasan

Apa yang dikatakan Megawati mengenai pers kebablasan, sesungguhnya tidak dirasakannya sendiri. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.

Dalam media politik pascareformasi, korban paling jelas adalah Gus Dur. Saat jadi presiden, foto rekayasa Gus Dur laksana Tom Cruise dalam film Mission Impossible II, dipampang media tanpa mengindahkan etika. Begitu juga dengan gambar Gus Dur yang bak Superman maupun Gus Dur bersama Aryanti Sitepu, yang mengaku sebagai pacar gelap orang nomor satu di Indonesia itu, semua dimunculkan atas nama kebebasan pers.

Judul-judul provokatif seperti Bush Babi Buta, Amerika Setan!, ataupun gaya bahasa yang kasar seperti mengibaratkan wakil rakyat yang duduk di DPR/MPR seperti ikan lele yang berebut kotoran, kerapkali diadaptasi. Padahal cukup jelas, pers tidak boleh menyiarkan informasi atau gambar yang dapat dinilai menyinggung rasa kesopanan individu atau kelompok tertentu.

Dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) secara tegas disebutkan, wartawan tidak menyiarkan informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, dan pornografis, serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. Yang dimaksud pornografis, dalam penjelasan KEWI, adalah informasi atau gambar yang secara gamblang memperlihatkan aurat yang bisa menimbulkan nafsu berahi atau mengundang kontroversi publik.

Uniknya, kini pasar media dibanjiri media-media yang mengkhususkan diri pada liputan seksual dengan menampilkan dan mengeksploitasi gambar-gambar perempuan dengan tonjolan buah dada dan paha.

Selain beralasan karena dengan hadirnya banyak media baru membuat kompetisi makin ketat, media ”kuning” ini tetap melaju dengan alasan bahwa masyarakat bersifat hipokrit: pada satu sisi menentang pornografi, namun di sisi lain merasa ketinggalan informasi jika belum ikut mencicipi berita erotis yang menjadi perbincangan. Alasan lainnya, pornografi tidak mempunyai hubungan dengan penghancuran moralitas kaum muda. Rusaknya generasi muda bergantung pada pergaulan sosial dan psikologis tiap individu mereka sendiri.

Meski pendukung aliran kebablasan pers dengan tenang menyatakan bahwa seharusnya masyarakat siap menerima keberagaman informasi, kebablasan pers ini memunculkan keinginan untuk merevisi UU Pers. Alasannya, UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999 dipandang gagal menyelesaikan ekses-ekses negatif dari kebebasan pers, sehingga UU Pers harus diperbaiki.

Kerawanan Pers Bebas

Di era informasi seperti sekarang ini, pemerintah di seluruh dunia berada di bawah tekanan untuk menghormati hak warga negara untuk berkomunikasi secara bebas. Apalagi dengan berkembangnya internet yang telah memberikan arti baru terhadap komunikasi. Internet dianggap sebagai revolusi komunikasi, bahkan mungkin sebuah revolusi informasi.

Dibanding beberapa media dan sistem komunikasi lainnya, termasuk cetak, penyiaran dan sistem pos, internet memungkinkan pengiriman dan pertukaran beragam informasi ke seluruh dunia, serta berkomunikasi secara interaktif. Secara nyata, di masa revolusi informasi ini, menerbitkan media berbahasa Indonesia, bisa menggunakan server di Amerika Serikat dan menjalankan media tersebut dari belahan dunia lain.

Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pascapembredelan Tempo, Detik, dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, mematahkan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung denagn pencabutan SIUPP.

Dengan perkembangan revolusi melalui internet di tanah air pula, sesungguhnya persoalan kebebasan pers dalam menyuarakan kebenaran tidak mungkin bisa dibelenggu lagi. Tidak bisa tiap bit informasi yang lalu lalang dalam jaringan cyber highway disensor, apalagi dengan belum adanya aturan yang jelas mengenai lalu lintas informasi lewat network of networks ini. Karenanya, segala ketakutan akan diberangusnya kebebasan pers lewat lembaga-lembaga formal pengawas pers tidak perlu direspons berlebihan.

Yang perlu diwaspadai, seperti dikatakan Sekjen PBB Kofi Anan pada Hari Kebebasan Pers Dunia tahun lalu, kebebasan pers sebagai tulang punggung hak-hak asasi manusia serta mendorong keterbukaan dan pemerintahan yang baik (good governance) tetap mengundang kerawanan, baik lewat internet maupun media ”konvensional”. Kerawanan itu adalah adanya pelanggaran hak pribadi, moral (pornografi), dan pemanfaatan media untuk membangkitkan kebencian di kalangan rakyat.

Salah peran seperti inilah yang membuat beberapa pihak yang dirugikan mulai mengecam pers. Untuk itu, sebaiknya, proteksi kebebasan pers seperti dapat dilihat pada Undang-Undang Pers 1999, pada Pasal 28 UUD 1945 yang sudah diamandemen, serta Tap MPR XVII yang menjamin hak asasi manusia dalam arus informasi yang bebas, diimbangi dengan aturan tegas bagi pers yang kebablasan, kelewat batas.

Bisa dengan merevisi UU Pers maupun dengan mengoptimalkan peran Dewan Pers sebagai ”politisi etika” pers, yang bertanggung jawab dalam menegakkan kode etik wartawan agar kebebasan pers yang sekarang ada lebih bermartabat.

Bagi insan pers sendiri, gugatan terhadap kebebasan pers oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa perlu diwaspadai dengan lebih mawas diri dan mengawasi diri tentang keberadaan dan tanggung jawabnya terhadap publik. Publik sendiri juga perlu memahami makna kebebasan pers dengan menindaklanjutinya secara hukum jika merasa dirugikan, bukan dengan melakukan kekerasan. Penegakan supremasi hukum akan benar-benar diuji di sini. Dirgahayu Pers Indonesia.

Sumber artikel : http://www.sinarharapan.co.id/berita/0202/09/opi01.html

*Menengok Kiprah Suku Tionghoa dalam Sejarah Pers di Indonesia (1)

Awalnya, Sama-Sama Dikekang Eropa dan Beritanya Kering

Perayaan Imlek 2005 kali ini agak istimewa. Kenapa demikian? Perayaan tahun baru China tahun ini bersamaan dengan peringatan Hari Pers Nasional. Dan bila bicara tentang sejarah pers nasional Indonesia, jelas tak bisa lepas dari kiprah suku Tionghoa. Sampai sejauh manakah peran mereka dalam membangkitkan pers di Indonesia? Berikut rangkuman data sejarah dari berbagai sumber yang dikumpulkan SUTRISNO BUDIHARTO - wartawan RADAR SOLO.

MENURUT catatan sejarah, penerbitan media cetak di Indonesia sudah dimulai sejak penguasaan VOC (1619-1799), tepatnya tahun 1676. Awalnya hanya kalangan penguasa dari Eropa - terutama Belanda dan Inggris -- yang diizinkan menerbitkan media cetak. Namun, kaum Tionghoa dan kalangan bumiputra (pribumi) akhirnya juga diizinkan mengelola media cetak sendiri.

Dr De Haan dalam buku "Oud Batavia" (G. Kolf Batavia 1923) mengungkap, tahun 1676 di Batavia sudah muncul sebauh terbitan berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Terbitan berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744. Kala itu, Bataviasche Nouvelles hanya memuat berita tentang acara resepsi pejabat, pengumuman kedatangan kapal, stok barang dagangan, atau berita dukacita.

Media cetak yang berbentuk surat kabar baru muncul tahun 1800-an. Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810. Ketika armada Inggris menaklukkan Jawa, Thomas Stamford Raffles - yang diangkat sebagai Gubenur Jenderal - juga sempat menerbitkan koran mingguan bernama Java Government Gazette pada tahun 1812. Pada tahun 1825 muncul De Locomotief di Semarang.

Pers yang melayani masyarakat pribumi baru lahir tahun 1855 di Solo dengan nama Bromomartani. Kemudian disusul Selompret Melajoe di Semarang tahun 1860. Pada era ini, di luar Jawa, juga lahir sejumlah surat kabar. Antara lain Celebes Courant dan Makassar Handelsblad di Ujungpandang, Tjahja Siang di Manado, Sumatra Courant dan Padangsch Handelsblad di Padang. Sementara di Batavia juga lahir sejumlah koran. Yang paling popular adalah Bintang Betawi. Hanya saja, koran-koran yang terbit pada masa awal sejarah pers tersebut kebanyakan dikelola kaum kolonial.

Sampai akhir abad ke-19, koran atau terbitan berkala yang dicetak di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.

Pers lokal baru bangkit awal 1900-an setelah kolonial Belanda mengizinkan kaum Tionghoa mengelola media cetak. Ketika Tionghoa mulai menerbitkan surat kabar, orang-orang bumiputra juga mulai belajar mengelola koran. Tahun 1900 Dr Wahidin Soedirohoesodo menangani surat kabar Retno Dhoemilah dalam dua bahasa; Jawa dan Melayu. Melalui media ini Wahidin mulai mengkampanyekan nasionalisme, pendidikan masyarakat, persamaam derajat dan budi pekerti. Hanya saja, surat kabar Retno Dhoemilah ini juga didirikan oleh orang Belanda, FL winter, dengan perusahaan penerbit milik kolonial H Bunning Co.(bersambung)

(SUTRISNO BUDIHARTO/pernah dimuat di RADAR SOLO-JAWA POS 10 Februari 2005)

*Menengok Kiprah Suku Tionghoa dalam Sejarah Pers di Indonesia (2)

Indonesier Pilih Berasimilasi dan Membela Kemerdekaan

Munculnya pers Tionghoa di Jawa pada awal abad ke-20 bisa dibedakan dalam dua kelompok; yakni pers berbahasa asli Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok. Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Seperti apakah kiprah mereka dalam mendorong perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah?

MENURUT catatan Abdul Wakhid (Lembaran Sejarah, 1999), awal kemunculan industri pers milik kalangan China totok yang berbahasa asli dari Tiongkok berkaitan erat dengan Soe Po Sia - suatu organisasi perkumpulan pers revolusioner Tiongkok yang berhubungan langsung dengan Dr Sun Yat Sen -- atau Siang Hwee - organisasi kamar dagang yang didominasi kalangan China totok. Namun jumlah pers yang berbahasa asli Tiongkok terbilang terbatas. Antara lain adalah Huauo Bao (Jakarta), Zhaowa Gong Bao (Semarang), dan Hanwen Xinbao (Surabaya).

Sementara pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan-China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan. Namun pers milik Tionghoa peranakan tetap memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi.

Surat kabar milik Tionghoa pernakan yang pertama terbit adalah Li Po. Surat kabar yang dicetak di Sukabumi, Jawa Barat, itu menyebarkan ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) -- organisasi Pan-China pertama di Jakarta pada tahun 1900. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).

Dekade 1920-an, kalangan Tionghoa peranakan menerbitkan sejumlah suratkabar lagi. Antara lain Bing Seng (Jakarta-1922), Keng Po (Jakarta-1923), Sin Jit Po (Surabaya-1924), Soeara Publiek (Surabaya-1925), dan Sin Bin (Bandung-1925). Pada dekade 1930-an, surat kabar Tionghoa peranakan makin bertambah banyak akibat pengaruh perang anti-Jepang. Namun surat kabar Tionghoa peranakan tidak semuanya anti-Jepang, seperti yang ditunjukkan Mata Hari (Semarang) dan Hong Po (Jakarta).

Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo - Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.

Namun, jika dilihat dari spectrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran; yakni Kelompok Sin Po, Kelompok Chung Hwa Hui, dan Kelompok Indonesier (orang Indonesia). Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara Kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang Kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya, tapi secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat local dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. (BERSAMBUNG)

(SUTRISNO BUDIHARTO/pernah dimuat di RADAR SOLO-JAWA POS 11 Februari 2005)

*Menengok Kiprah Suku Tionghoa dalam Sejarah Pers di Indonesia (3)

Publikasi Indonesia Raya pun Lewat Sin Po

Ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

SIKAP Belanda terhadap pers milik yang dikelola kalangan Tionghoa awal abad ke-20 lalu cenderung lunak dan bisa dikatakan tidak mendapat represif -- berupa pembredelan atau penangkapan - seperti yang dialami jurnalis pribumi. Sebab, pers Tionghoa dianggap netral. Sikap lunak Belanda ini mungkin tak lepas dari kepentingan Belanda kala itu yang ingin memanfaatkan kaum Tionghoa sebagai alat politik dan ekonomi.

Namun kalau akhirnya ada Tionghoa peranakan yang memiliki benih-benih rasa anti-Belanda seperti yang ditunjukkan Tionghoa Indonesier, hal itu juga bukan suatu keanehan. Sebab, sepak terjang orang Belanda terhadap orang Tionghoa juga berubah-ubah dan diskrimininatif. Bahkan, di Batavia pernah terjadi pembantaian massal terhadap kaum Tionghoa yang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa.

Adalah surat kabar Sin Tit Po sebagai wakil pers Tionghoa peranakan yang bersedia menerima penuh ideologi nasionalisme Indonesia. Pengelola surat kabar -- yang juga menjadi corong setengah resmi Partai Tionghoa Indonesia (PTI) ini -- menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan. Mereka juga merasa, nasibnya telah terikat dengan nasib orang Indonesia pribumi. Tak aneh jika Sin Tit Po ikut menyebarkan ide-ide nasionalisme Indonesia.

Lantas bagaimana dengan surat kabar Tionghoa yang pro-nasionalisme Tiongkok? Menurut Abdul Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. Pemberitaann Sin Po tidak mengabaikan peristiwa-peristiwa penting di Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po. Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman -- yang menjadi lagu kebangsaan Indonesia - pertama kali dipublikasikan. Sementara Ir Soekarno juga dikenal dekat dengan Sin Po.

Pendek kata, hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia kala itu.

(SUTRISNO BUDIHARTO/pernah dimuat di RADAR SOLO-JAWA POS 13 Februari 2005)

*Menengok Kiprah Suku Tionghoa dalam Sejarah Pers di Indonesia (4)

Majalah Boedi Oetomo Awalnya Milik Tan Tjoe Kwan

Ancaman pembredelan dan tekanan represif Belanda merupakan hambatan berat bagi kalangan bumiputra dalam mengelola surat kabar yang independen untuk mengobarkan api perjuangan. Untungnya, pengelola surat kabar Tionghoa peranakan bersikap terbuka dan memberikan tempat bagi kaum pribumi untuk belajar.

Sejak pertengahan abad ke-19, pemerintah Belanda memang terkesan sudah bersikap terbuka kepada kepada warga pribumi dalam mengelola media cetak. Setidaknya, hal itu bisa diketahui ketika pujangga Keraton Surakarta, RNg Ranggawarsita (1802-1873), dilibatkan dalam penerbitan bulettin Bromomartani yang dipimpin CF Winter. Namun isi Bromomartani hanya memuat berita-berita perdagangan dan artikel-artikel berbahasa Jawa. Ketika Bromomartani memuat artikel yang menyerang pemerintah Belanda, Residen Surakarta Hendrik Mac Gilavry marah. Setelah itu, RNg Ranggawarsita mundur dari Bromomartani (atau dipaksa mundur?). Ironisnya, taklama kemudian --tepatnya tahun 1873 -- Ranggawarsita wafat dengan meninggalkan misteri.

Pada tahun 1900, jurnalis pribumi di Surakarta R Dirjatmojo juga diangkat menjadi editor Djawi Kanda yang diterbitkan Albert Rusche & Co. Sementara Dr Wahidin Sudirohusodo menjadi redaktur jurnal berbahasa Jawa Retnodhoemilah yang diterbitkan Firma H Burning milik kolonial. Hanya saja, media cetak yang masih berbau campur tangan kolonial tetap dianggap bukan termasuk pers nasional oleh Subagio IN -pengamat sejarah pers nasional yang juga mantan wartwan Antara.

Menurut Subagio, pers nasional adalah pers yang dikelola secara mandiri oleh kaum pribumi. Sedang koran pertama yang dianggap sebagai pers nasional pertama adalah Medan Prijaji yang terbit di Bandung tahun 1907 dari hasil kerjasama antara Haji Samanhudi (Wirjowikoro) dan Raden Mas Tirtohadisoerjo. Koran inilah yang dikenal paling lugas memprotes kolonialisme dan faham-faham kolot.

Lantas bagaimana dengan pers pribumi lainnya? Terbitnya pers pribumi lainnya - baik koran atau majalah - awalnya tidak sedikit yang berangkat dengan menggunakan fasilitas milik kaum Tionghoa. Majalah Darmo Kondo tahun 1910 yang diterbitkan milik organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo, awalnya dimiliki dan dicetak oleh Tan Tjoe Kwan. Sedang redaksinya dipimpin oleh Tjhie Siang Ling yang mahir sastra Jawa (Lembaran Sejarah UGM, 1999).

Sebelum Medan Prijaji terbit, menurut catatatan hidayatullah.com, Samanhudi (1868-1956) juga pernah memimpin media cetak Taman Pewarta. Berdasar catatan Benny Juwono, Taman Pewarta yang terbit di Surakarta itu konon juga dicetak Shie Dian Ho-sebuah penerbit milik Tionghoa Solo. Beberapa surat kabar lain yang modalnya diperoleh dari hasil kerjasama dengan Tionghoa antara lain adalah Warna Warta (Semarang), Slompret Melajoe (Semarang), dan beberapa surat kabar di Sumatra serta Kalimantan.

Sementara perkembangan pers milik Tionghoa sendiri, sampai tahun 1940-an, mengalami perkembangan pesat dengan olpah cukup besar. Sin Po misalnya, mampu menembus 25.000. Meski secara umum pers Tionghoa dianggap tidak berbahaya oleh penguasa Belanda, ada juga yang terkena delik pers. Seperti yang dialami Liem Koen Hian dari Keng Po yang dikenai denda karena dianggap menghina Landraad. Ketika Belanda menyingkir dan Jepang menguasai Jawa 1942, penerbitan pers banyak ditutup. Hiruk pikuk pers perjuangan jadi kendor luar biasa. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.(BERSAMBUNG)

(SUTRISNO BUDIHARTO/pernah dimuat di RADAR SOLO-JAWA POS 14 Februari 2005)

*Menengok Kiprah Suku Tionghoa dalam Sejarah Pers di Indonesia (5-habis)

Masih Sensitif Terhadap Masalah Politis

Sejarah pers milik Tionghoa di Indonesia - baik yang berbahasa Melayu atau berbahasa Tiongkok - hanya bertahan sekitar setengah abad. Namun, keberadaannya dinilai memiliki makna cukup penting bagi kaum Tionghoa sendiri maupun bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Perkembangan pers milik Tionghoa tahun 1940-an memang sempat mengalami perkembangan pesat dan mampu menembus olpah cukup besar. Hal itu tak lepas dari dukungan kelengkapan sarana produksi yang mereka miliki, seperti percetakan sendiri dan dukungan finansial yang kuat. Hanya saja, ketika Jepang mengambil-alih kekuasaan di Indonesia, keberadaan pers Tionghoa seperti tenggelam akibat tekanan represif. Jurnalis Tionghoa ada yang ditangkapi dan baru dilepas tahun 1945 ketika Jepang menyerah dan keluar dari Indonesia.

Meski berusia pendek, Abdul Wakhid beranggapan, keberadaan pers Tionghoa tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat dan sejarah pers di Indonesia. ''Pertumbuhan pers Tionghoa yang bersamaan dengan bangkitnya semangat nasionalisme dan pergerakan boleh jadi membiaskan pengaruh postif dan negatif bagi perkembangan nasionalisme Indonesia. Namun demikian, melalui pemahaman yang terbuka dan bijaksana, keberadaan pers Tionghoa kala itu memberikan nilai manfaat yang positif bagi perkembangan nasionalisme bangsa Indonesia,'' papar Abdul Wakhid seperti yang diuraikan dalam Lembaran Sejarah UGM, 1999.

Lantas, apa yang diperbuat kaum Tionghoa setelah Indonesia merdeka? Kalau menyimak catatan Leo Suryadinata berjudul Pemikiran Politik Minoritas Tionghoa di Indonesia, sikap kaum Tionghoa Indonesia sekitar proklamasi lalu sebenarnya tidak a-politik, meski terdapat perbedaan di antara mereka. Bahkan, beberapa tokoh Tionghoa harus keluar masuk pernjara seperti yang dialami kaum pegerakan nasional Indonseia lainnya.

Siauw Giok Tjhan -- salah satu tokoh Tionghoa Indonesia yang pernah menjadi menteri setelah proklamasi dan utusan Indonesia pertemuan Inter Asian Conference pertama di New Delhi-India pada tahun 1947 -- paling tidak juga berani meunjukkan sikap politiknya.

Hanya saja, selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru lalu, kaum Tionghoa terkesan sangat sensitif jika diajak ngobrol masalah politis. Ironisnya, untuk merayakan tahun baru Imlek saja sampai tidak boleh oleh penguasa Orde Baru. Praktis, kalangan Tionghoa Indonesia terkesan hanya berkutat pada masalah ekonomi dan perdagangan. Tak aneh, ketika proses reformasi bergulir dan kaum Tionghoa bisa merayakan tahun baru Imlek secara terbuka lagi, ada yang mengaku lega.

Namun, pemberitaan pers Tionghoa yang muncul pasca-Orde Baru ini, menurut Agus Sudibyo -- peneliti Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta -- tetap lunak. Dicontohkan Agus, berita-berita politik Suara Baru misalnya, sempat memicu keberatan dari kalangan Tionghoa. Mereka khawatir sikap "frontal" Suara Baru pada beberapa kasus dapat memancing reaksi-reaksi negatif tertentu. Mereka merasa lebih nyaman jika Suara Baru mengangkat masalah-masalah budaya dan tidak ikut-ikutan berbicara soal politik. Kenapa demikian? Apakah ini merupakan sisa trauma politik diskriminatif Orde Baru atau masa kolonial lalu? Mungkin hanya rasa bijaksana yang dapat memberikan jawaban tepat. Yang jelas, menurut UUD, hak semua warga negara adalah sama.

(SUTRISNO BUDIHARTO/pernah dimuat di RADAR SOLO-JAWA POS 15 Februari 2005)

Selasa, 01 April 2008

Masalah Pemblokiran

Akhirnya situs porno di blokir juga. senangnya saya. tapi yang masih menghawatirkan tetap saja masih bisa ke buka situs-situs tersebut. Para pelajar sekalian kami menghimbau harap bersadar diri dalam bertindak. Saya selaku pelajar juga sangat senang dengan sikap pemerintah yang mau memblokir situs porno.Dengan begini bagi orang yang otaknya ngeres tidakbisa membuka siitus tersebut. karena dapat membahayakan anak-anak berbuat mesum, padahal belum cukup umur.