Potret Kehidupan Rakyat Irak yang Kian Suram
Warga Irak hampir putus asa dan sudah merasa bosan. Kekerasan terus mencuat. Mayoritas mereka menyesali perubahan yang terjadi di negaranya itu. Sebagian dari mereka berandai-andai, jarum jam kembali ke belakang ketika mereka masih di bawah rezim Saddam. Warga Irak kerapkali membandingkan kezaliman dan kepongahan saat Saddam berkuasa, masih lebih baik ketimbang realita yang terjadi sekarang ini.
Rakyat Irak pernah merasa optimis bahwa jalan keluar dari persoalan mereka, berada di tangan orang-orang Amerika. Perasaan itu muncul akibat rasa putus asa yang menyergap bangsa Irak dan anggapan bahwa rezim Saddam akan tetap ada dan terus ada sampai tibanya seorang penguasa baru. Tapi, selama masih ada intelejen-intelejen yang kuat dan cengkraman yang kukuh, berarti masih ada politik pedang dan pembunuhan (iming-iming dan teror). Dan mereka yang menyadari akan bahaya aneksasi AS lenyap dan muncul pertanyaan: jadi apa solusinya?
Warga Irak kini tenggelam dalam kebingungan. Awalnya, mereka meyakini kehadiran pasukan koalisi AS ke negeri itu akan memberi jalan keluar. Mereka begitu bersemangat, membayangkan kondisi rakyat Irak dalam sebuah perubahan dan bagaimana mereka akan menyongsong masa depan baru. Harapan akan kemerdekaan, demokrasi dan persaudaraan bagi setiap bangsa Irak pun bersinar.
Lalu datanglah pasukan besar, mereka membombardir tanpa henti, pesawat-pesawat yang menjejali langit Irak, menghancurkan zona-zona pemukiman yang aman serta semua tempat-tempat pelayanan bagi warga Irak. Militer AS menjadikan bandara Baghdad sebagai tempat lepas landasnya. Saat itu, tak ada rasa takut dibenak warga Irak terhadap apa yang terjadi setelah tibanya pasukan besar AS itu.
Lalu, keadaan berubah, aset kekayaan mulai dijarah. Pertama, peradaban Irak yang dijarah, museum-museum peninggalan sejarah, penghancuran semua kantor departemen kecuali departemen perminyakan yang dijaga oleh pasukan penyerang. Mereka menghancurkan instalansi-instalansi energi, air dan infrastruktur.
Militer Irak yang telah berusia 70 tahun tidak berfungsi karena dibubarkan. Padahal, di dalamnya terdapat lebih dari satu juta prajurit dan perwira, yang banyak diantaranya merupakan alumni Akademi Militer Sandhurst Inggris yang kesohor di dunia itu, dan alumnus dari pusat pelatihan militer Montgomery.
Kini Irak dalam kekacauan politik dan sosial. Semuanya menuntut sebuah solusi dan berteriak: di manakah saya dan di mana posisi saya dalam situasi seperti ini?
Dalam iklim gelap ini mencuatlah kelompok-kelompok aliran dan rasis yang memanfaatkan kesempatan. Mulailah bermunculan suara "Kami dianiaya. Kami ingin hak kami. Dan orang-orang lain yang zalim harus dihukum setimpal.” Dahulu, Saddam secara sengaja berpihak ke kelompok yang kebanyakan dari wilayah barat Irak dan perwira-perwira partisannya. Saddam mendzalimi warga di Selatan, menjarah aset kekayaannya dan tak mendistribusikan kekayaan minyak itu secara adil ke seluruh provinsi.
Sekarang, warga Irak pun bertanya, di manakah kebaikan yang diharapkan bangsa Irak dari kehadiran AS. Sama sekali tak ada kemaslahatan bagi bangsa Irak kecuali mewujudkan strategi perminyakan dan pembentukan rezim-rezim penengah yang akan melayani kepentingan-kepentingan AS di dunia yang beririsan dengan ambisi-ambisi Zionis internasional untuk mewujudkan mimpi mereka yang didengung-dengungkan, dari Euphrat sampai Nil (Israel Raya).
Para pemimpi itu duduk-duduk di atas bukit reruntuhan perang dan di atas kerusakan-kerusakan yang menyebar di pelosok Irak. Mayat-mayat anak-anak dan famili mereka berserakan di trotoar-trotoar jalan di kota-kota yang ditimpa serangan-serangan AS, seperti kota ash-Shadr, Najef, al-Asyraf, Ummu al-Maadzin, Fallujah, ar-Ramadi, al-Qaim, Tel’afr, dan banyak kota-kota lainya yang ditimpa serangan secara barbar.
Harapan rakyat Irak bahwa mentari kemerdekaan akan bersinar dengan tibanya para pembebas, tegaknya demokrasi, terhindarnya Irak dari aliran sektarian, rasis, separatis yang dipelihara oleh Saddam Hussein,
terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-har berupa air, listrik, pelayanan kesehatan, surplus barang, rasa aman dan stabilitas keamanan, serta adanya perubahan yang akan mengantarkan rakyat Irak pada transisi yang bermutu, politis dan beradab, tidak ada satupun yang terwujud.
Apa yang rakyat Irak dapatkan setelah datangnya pasukan penjarah AS, sungguh bertolak belakang dengan harapan mereka.
Aset kekayaan dan peradaban Irak yang usianya 7.000 tahun dijarah, sumber-sumber listrik dihancurkan, pemutusan aliran listrik jadi lebih sering terjadi ketimbang pada masa lalu, pelayanan kesehatan turun drastis, sampai operasi di rumah sakit dilakukan tanpa dibius, terputusnya air minum bagi sebagian besar penduduk Baghdad, air berat (bahan bom) menggenangi jalan-jalan dan kampung-kampung dan sebagian bercampur dengan air minum, dan puluhan contoh lainnya yang membuat bangsa Irak menderita.
Pada akhirnya, rakyat Irak menolak keberadaan orang asing di Irak meski mereka menyerukan slogan-slogan demokrasi dan memberi janji adanya perbaikan keamanan dan kehidupan.
Irak masa kini sangat kontradiksi, rakyat negara 1001 malam ini hidup diantara kenyataan dan harapan. Irak masa kini terkungkung dengan masalah-masalah bencana, dan yang paling utama adalah masalah stabilitas keamanan. Pembunuhan dan penculikan menjadi persoalan yang mengkhawatirkan.
Apakah orang-orang asing itu dapat terus memaksakan slogan-slogannya kemerdekaan dan demokrasinya? Sampai kapan media massa mampu meyakinkan slogan-slogannya untuk sampai pada kondisi lebih baik? Kenyataan yang terjadi, semuanya berjalan lebih buruk dari sebelumnya. (ilyas/middleeastonline)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar